WANITASUKABUMI.com – Mendapat perlakuan diskriminasi di negara berpenduduk mayoritas non-Muslim tentu merupakan hal biasa bagi banyak umat Muslim di berbagai negara.
Demikian juga dialami Dr. Nora Amath, sejak 23 tahun lalu ia tinggal di Australia. Ia berasal dari keluarga kelompok minoritas di Asia Tenggara.
Wanita dengan gelar akademik terbilang mentereng, dua gelar pendidikan S3, ini mengajarkan kewenangan pada anak perempuannya seperti yang dilakukan sang Ibu kepadanya. Namun, ada juga yang menganggap Nora tidak mampu bekerja atau selalu diperintah oleh suaminya.
Stigma yang cukup beralasan, mengingat Halim Rane, suami Dr. Nora Amath adalah seorang profesor studi Islam di Griffith University, mempelajari pemikiran Islam kontemporer dan komunitas muslim di daerah Barat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Nora pernah mengalami situasi menantang ketika menjabat sebagai staf senior di IWAA atau komunitas dalam negeri dan organisasi pendukung pengungsi yang dipimpin perempuan muslim.
Bahkan, ia pernah diberhentikan pengunjuk rasa saat berbicara di acara lintas agama disoraki kata-kata kasar dan diberhentikan ketika sedang memberi pelatihan kepada pengungsi yang baru pindah ke daerah kepercayaan dan kebiasaan Islam.
“Mereka menghambat pergerakan saya untuk mengajar karena saya terus dihina dan di kata-katai. Sampai harus didampingi polisi,” tutur dia dikutip dari republika.co.id.
Dalam survei Australia Talks Nasional oleh ABC 80 persen dari 60.000 warga Australia mengatakan diskriminasi merupakan masalah umum di Australia. Sedangkan warga yang lain mengatakan diskriminasi masalah yang pernah dialami oleh mereka.
“Sedikit menjengkelkan ketika orang-orang hanya berasumsi tentang kita karena stereotip tertentu yang sering digemborkan di politik ataupun media,” katanya.
Lebih jauh, Nora menyebut jika tidak mudah menjadi muslim Aborigin karena masih sering mendapat perlakuan diskriminatif.
“Orang Aborigin yang beragama Islam jarang terdengar eksistensinya. Sama halnya dengan kristen, sama halnya dengan keturunan Yahudi. Aborigin mengalir dalam darah dan adalah siapa kita sebenarnya,” ujarnya.
Sementara itu, Jessica Swann (47 Tahun) warga Australia sekaligus seorang mualaf sejak 17 tahun yang lalu setelah pindah ke Bahrain untuk urusan pekerjaan.
Lanjut Jessica, ia meninggalkan kehidupannya di Australia bahkan berpisah dengan tunangannya dan memulai mencari Tuhan.
Ia mulai tertarik mendalami ajaran Islam setelah ramai pemberitaan yang memojokkan Islam dan Muslim usai peristiwa 11 September di Amerika Serikat.
“Saya tidak lari dari apapun, tidak mualaf ataupun kembali. Saya berkembang dalam sebuah perjalanan kerohanian yang menuntun pada Islam,” tutur dia.
